Sanghyang Tikoro - Goa Alam di Waduk Saguling

Di akhir pekan, Kota Bandung selalu disesaki oleh turis domestic dan suasana yang hiruk pikuk membuat saya kurang menyukainya. Berbekal dari sebuah buku tua yang saya dapatkan berjudul “All About Bandung” terbitan tahun 1994 dan ditulis oleh seorang warga negara Jerman yang mencintai kekayaan alam Jawa Barat, saya tergeltik untuk mengetahui sebuah lokasi wisata yang tidak banyak orang ketahui. Sebuah foto kecil dengan penjelasan bahasa Inggris, tertulis South of Bandung, Sanghyang Tikoro.


Tanpa harus berpikir dua kali, saya menyempatkan diri untuk mencari tahu dimana lokasi yang mengesankan tersebut berada. Kota Padalarang yang berjarak 30 menit perjalanan dari kota Bandung menjadi tujuan utama saya selanjutnya, memasuki kota Padalarang perjalanan dilanjutkan hingga ke Citatah dan Jalan Raya Rajamandala hingga menuju ke sebuah pintu gerbang bertuliskan “Waduk Saguling”.

Dan disinilah sebuah perjalanan baru dimulai, tidak banyak orang mengetahui keberadaan lokasi ini sehingga memaksa saya untuk bertanya kebeberapa orang. Ada sebuah pos penjagaan yang harus saya lewati, karena sepertinya tempat ini agak tertutup. Pohon coklat menjadi pemandangan tersendiri disisi kanan dan kiri jalan yang naik turun. Dibutuhkan kendaraan yang handal untuk melewati jalan berliku, beberapa muda-mudi sedang asyik berpacaran ditepian jalan yang tenang. Udara yang sejuk dan masih bebas polusi menjadi hiburan tersendiri bagi saya.

Sekali lagi saya harus bertanya karena tidak ada papan penunjuk lokasi wisata tersebut disebuah pertigaan jalan. Bahkan orang lokal sendiri tidak tahu dimana Sanghyang Tikoro, menakjubkan! Bertanya yang ketiga kalinya, baru saya menemukan arah yang benar. Tidak berapa lama saya menemukan sebuah pemandangan yang menarik, sebuah sungai yang cukup lebar dengan arus yang cukup kuat menjadi pemandangan yang menakjubkan.

Untuk memastikan bahwa arah saya memang benar, saya bertanya kembali. And that’s the right way. 10 menit kemudian saya menjumpai sebuah papan penunjuk yang sudah karatan “Sanghyang Tikoro” Senangnya bukan main dan lega rasanya.

Setelah memarkirkan kendaraan saya menuruni sebuah anak tangga dan jembatan kecil, dibalik tembok pagar setinggi 2 meter disitulah Sanghyang Tikoro bermukim. Sanghyang Tikoro derived from two words…Sanghyang means God or Dewa and Tikoro means Throat or Kerongkongan. Jadi Sanghyang Tikoro berarti Kerongkongan Dewa dan saya mencari tahu mengapa tempat ini dinamakan sebagai sebuah kerongkongan dewa.

Nama Sanghyang Tikoro sering dihubungkan dengan legenda Sangkuriang, khususnya berkaitan dengan Danau Bandung. Sangkuriang identik dengan asal muasal terciptanya Gunung Tangkuban Perahu, Danau Purba Bandung, Gunung Burangrang, Gunung Bukit Tunggul, dan Sang Hyang Tikoro. Cerita tentang pangeran sakti mandraguna ini, dibalut kisah cinta terlarang antara seorang anak yang tidak lain adalah Sangkuriang dengan ibu kandungnya, Dewi Dayang Sumbi.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut, ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Pulau Bali pada akhir abad ke-15.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi Kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya.

Melihat dari sisi geologis, sekitar 6000 tahun yang lalu Kota Bandung dulunya merupakan sebuah danau purba yang dinamakan sebagai Situ Hiang, yang terbentuk karena meletusnya Gunung Tangkuban Perahu dan menyumbat aliran sungai Citarum. Lama kelamaan air danau tersebut surut dan kemudian mongering hingga membentuk sebuah daratan yang kini menjadi Kota Bandung. Tidak heran apabila banyak ahli geologi yang mengatakan bahwa Kota Bandung adalah sebuah cekungan raksasa yang menyukai mangkok. Dan pinggir mangkok tersebut merupakan dataran tinggi, yang kini beberapa area di Kota Bandung sering mengalami banjir.

Kembali ke Sanghyang Tikoro, melihat kawasan Padalarang yang terdiri dari pegunungan kapur tidak mengherankan buat saya apabila ada sungai bawah tanah yang cukup besar. Dan disinilah sebuah sungai bawah tanah dimulai, sebuah goa karst (batu gamping) setinggi 2,5 meter dengan lebar sekitar 7 – 10 meter. Konon panjang gua bawah tanah ini dengan aliran sungainya sepanjang 162 meter dan hingga saat ini belum ada yang memberanikan diri untuk mencari tahu kemana aliran sungai ini berakhir dan apa saja yang terdapat didalamnya.

Saya memberanikan diri untuk turun mendekati mulut gua, bau air yang menyengat serta suasana yang spooky membuat saya tidak berani berlama-lama didekat mulut gua ini. Hanya berjarak sekitar 200 meter sebuah pintu air raksasa berada dilokasi ini. PLTA Saguling – Indonesia Power dan sebuah pipa air raksasa bak ular raksasa berada diatas kantor PLTA ini.

Tidak banyak informasi yang saya dapatkan, tapi dari alur sungai dan pintu waduk kemungkinan lokasi ini merupakan mulut terakhir dari pembangkit listrik tenaga air. Aliran sungai ini terbagi menjadi dua bagian, satu lagi menuju ke sungai besar dan satu lagi menuju ke sungai bawah tanah yang tidak diketahui kemana alirannya. Konon banyak orang yang datang ketempat ini untuk bersemedi setiap malam Selasa atau Kamis Kliwon. Memang cukup wingit lokasi ini.

Satu hal yang sangat disayangkan yaitu PLTA membangun pagar setinggi 2 meter sehingga tidak memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk langsungmenikmati pemandangan alam yang menakjubkan ini. Sehingga saya harus melompati pagar dari samping agar mendapatkan gambar yang saya inginkan. Memang ada alasan lain yaitu safety, karena lokasi ini berdekatan langsung dengan buangan air waduk untuk PLTA.

Kemudian perjalanan saya lanjutkan, tidak jauh dari lokasi ini ada sebuah batu karst yang menyerupai mulut harimau. Jalan yang menanjak dan suasana yang segar dan alami membuat saya sangat mencintai negri ini, Indonesia.

Jalan semakin menanjak dan berkelok, ada beberapa area yang lawan longsor di musim hujan. Beruntung aspal jalan dilokasi ini masih cukup baik dan ternyata ada sebuah pemandaian air panas. I wonder dari mana air panas ini berasal. Cuma saying saya tidak cukup waktu untuk menikmati pemandian air panas ini.

Sekitar 10 menit dari pemandian air panas ini, saya menemukan beberapa air terjun mini dipinggir jalan. Dan salahsatu yang cukup besar bernama “Curug Bedil”, entah mengapa dinamakan air terjun bedil. Sambil beristirahat dan mendinginkan kendaraan yang dipaksa terus menanjak, saya menikmati dinginnya air terjun ini.

Perjalanan kembali dilanjutkan hingga tiba di top of the top, pemandangan kota Bandung dan Padalarang sangat menakjubkan. Aliran sungai Citarum ibarat sebuah ular raksasa dan pantulan sinar matahari membuatnya semakin cantik. Sungguh sangat indah.

Dua buah bangunan mirip tugu berada didekat puncak bukit itu dan ternyata tangki pendingin turbin. Wow!! It’s a man made marvel!

Selepas dari puncak bukit yang berketinggian lebih dari 1.000 dpl ini, saya mencoba menemukan dimana waduk Saguling berada. Waktu tempuh sekitar 20 menit dari puncak bukit dan tibalah disebuah waduk yang tidak terlalu besar. Waduk Saguling ini mempunyai luas 6.176 hektar dan dibangun pada bulan Agustus 1981. Waduk ini menenggelamkan 31 desa hingga akhirnya diresmikan oleh mantan Presiden RI, Pak Harto ditahun 1986. Waduk dan PLTA ini menjadi pemasok listrik untuk kota Bandung dan Jakarta setelah waduk Cirata dan Jatiluhur.

Tak ada wisatawan yang menikmati waduk yang cukup cantik ini, amat sangat disayangkan. Selesai mengabadikan gambar, saya kembali pulang dan melewati jalur yang sama. Tenang rasanya setelah mendapatkan lokasi yang diinginkan dari sebuah buku tua.

Kini motor saya bisa jalan dengan santai, setelah dipaksa menanjak selama 17 km dari pintu gerbang utama. Perjalanan terasa lebih cepat dan ringan karena jalanan terus menurun, hingga saya melihat sebuah jembatan yang cukup menarik dari atas bukit. Melewati jalanan berbatu, saya berhenti sebentar disebuah desa kecil dipinggir sungai Citarum.

Jembatan kecil ini menjadi penghubung dua buah desa terpencil, sementara arus air yang deras menjadi pemandangan yang luar biasa. Kenapa tidak dijadikan lokasi rafting? Wah kalau jadi lokasi rafting, pasti akan saya coba. Karena lokasinya menawan melewati sungai kecil dengan dinding batu kapur hingga melebar dan jeram yang beragam. Serunya kalau dijadikan lokasi wisata rafting.

Saya hanya bisa bergumam mengapa tidak ada yang peduli dengan keindahan alam ini, sehingga hanya orang asing yang berani menuliskan tentang obyek wisata ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH SITUS INFORMASI INTERNET

MISTERI BELATI RAKSASA PADALARANG

SITUS GUNUNG PADANG CIWIDEY CILILIN